Runtime (0.00744 seconds)
#104

Interpretation of ( Al-Baqarah 178 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Di antara syariat yang Kami wajibkan atas orang-orang beriman adalah hukum yang mengatur soal pembunuhan dengan sengaja. Telah Kami wajibkan pelaksanaan kisas atas kalian sebagai hukuman bagi pelaku pembunuhan. Janganlah kalian mencontoh tirani kaum jahiliah. (1) Mereka menghukum orang merdeka bukan pelaku pembunuhan sebagai balasan atas terbunuhnya seorang budak. Laki-laki sebagai ganti wanita. Petinggi kaum sebagai ganti rakyat jelata tanpa memberi hukuman pada pelaku pembunuhan itu sendiri. Maka dengan hukum kisas ini Kami mewajibkan bahwa orang merdeka harus dikisas karena membunuh orang merdeka lain, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Jadi, landasan hukum kisas ini adalah semata-mata untuk menghentikan kejahatan si pembunuh dengan memberikannya hukuman yang setimpal. Tapi apabila pihak keluarga korban berhati lapang dan memilih sesuatu yang lebih baik dari itu dengan tidak menuntut balas, dan memberi maaf pada terdakwa, maka mereka berhak mendapatkan diyat. Jika itu yang dikehendaki oleh pihak keluarga korban, maka hendaknya ia menerima pilihan mereka sendiri secara sukarela tanpa menekan apalagi menggunakan kekerasan terhadap pelaku. Si pelaku semestinya menyerahkan diyat itu secepatnya dan tidak menundanya. Dan sesungguhnya di dalam hukum kisas yang Kami wajibkan itu terdapat keringanan bagi orang-orang Mukmin, jika dibandingkan dengan hukum Tawrât, yang tidak memberikan pilihan bagi pelaku pembunuhan kecuali dihukum bunuh. Sebagaimana terdapat pula rahmat bagi mereka sehingga tidak hanya mengharap maaf dari keluarga korban. Barangsiapa yang melanggar ketentuan hukum ini maka baginya azab yang pedih di dunia dan akhirat. {(1) Orang-orang Arab pada masa jahiliah membedakan antara petinggi kaum dengan orang biasa. Misalnya ketika salah seorang kepala suku terbunuh, pembalasan atas pembunuhan itu tidak hanya terbatas pada si pembunuh. Bagi mereka terdapat perbedaan antara darah orang biasa dengan darah petinggi, antara jiwa orang biasa dengan jiwa petinggi. Ketika Islam datang, kebiasaan itu ditinggalkan dengan memberlakukan hukum kisas, yaitu suatu ketentuan hukum yang menetapkan bahwa pembalasan terhadap tindak pembunuhan hanya diberlakukan terhadap si pembunuh. Jika seorang yang merdeka terbunuh, siapa pun orangnya, tebusannya adalah orang merdeka pula, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita dan seterusnya. Dapat dipahami secara eksplisit bahwa seorang budak tidak akan dikisas karena melakukan pembunuhan terhadap orang merdeka dan sebaliknya seorang merdeka tidak dikisas karena membunuh budak. Akan tetapi, pada ayat lain kita menemukan bahwa hukum kisas itu berlaku secara umum tanpa memandang status dan jenis kelamin. Ini merupakan suatu hukum yang telah diundangkan dalam kitab Tawrât, Injîl dan al-Qur'ân. Allah berfrman, "Dan telah Kami tentukan terhadap mereka di dalamnya (Tawrât) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa" (lihat surat al-Mâ'idah). Dan Rasululullah bersabda, "Orang-orang Muslim itu saling melindungi hak hidup masing-masing," dan, "Nyawa dibalas dengan nyawa." Tampaknya, bahwa dalam hukum kisas ini Islam memiliki sudut pandang yang berbeda dengan pandangan para ahli hukum, dengan menjadikan kisas itu sebagai hak bagi keluarga si terbunuh, sebagai peredam kemarahan di satu sisi dan sebagai upaya prefentif untuk menjaga hak hidup orang yang tak berdosa di sisi lain. Oleh karena itu dalam hal ini pihak keluarga korban memiliki hak memaafkan pelaku di samping hak menuntut balas (kisas) itu sendiri, sementara pihak penguasa (waliy al-amr) memiliki kekuasaan untuk memberi hukuman mati sebagai ta'zîr jika dalam hal itu terdapat maslahat. Dalam penetapan hukum kisas ini, Islam tidak memandang dari sudut motif, karena si pelaku dianggap zalim apa pun motif yang melatarbelakangi kejahatannya. Bahkan, melihat kejahatan dari sisi motifnya akan melahirkan rasa kasihan pada si pelaku dan mengabaikan maslahat korban yang semua itu sering kali mendorong tindak balas dendam yang tidak ada habisnya. Belakangan ini teori hukum Islam dalam persoalan kisas banyak mendapat tanggapan dan kajian serius di berbagai perguruan tinggi di Eropa. } ] - Interpretation of ( Al-Baqarah 178 )

[ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ ] - البقرة 178

#105

Interpretation of ( An-Nisa' 92 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Pembagian orang munafik ke dalam dua golongan itu didasarkan pada asas kehati-hatian, dengan maksud agar tidak terjadi pembunuhan terhadap orang Muslim karena diduga munafik. Sementara, membunuh orang Muslim itu diharamkan, kecuali kalau terjadi secara salah atau tidak sengaja. Bila terjadi pembunuhan terhadap orang Muslim secara salah atau tidak sengaja, kalau si korban itu tinggal di dalam wilayah Islam, maka pelaku pembunuhan dikenakan sanksi membayar diyat kepada keluarga korban sebagai ganti atas hilangnya seorang anggota keluarga, dan sanksi memerdekakan seorang budak Muslim sebagai ganti atas hilangnya seorang anggota masyarakat Muslim. Sebab, memerdekakan seorang budak Muslim itu berarti menciptakan suasana hidup bebas dalam masyarakat Muslim. Pembebasan seorang budak Muslim seolah-olah cukup untuk mengganti hilangnya salah seorang anggota masyarakat Muslim. (1) Tetapi, kalau si terbunuh itu berasal dari golongan yang memiliki perjanjian damai dengan umat Islam, maka sanksi yang dikenakan kepada pelaku pembunuhan adalah memerdekakan seorang budak Muslim dan membayar diyat kepada keluarga korban sebagai ganti salah satu anggotanya yang meninggal. Karena, dengan adanya perjanjian itu, mereka tidak akan menggunakan diyat itu untuk menyakiti orang Muslim. Bila si pelaku pembunuhan tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakan, maka ia harus berpuasa dua bulan berturut- turut. Hal itu akan menjadi pelajaran bagi dirinya agar selalu berhati-hati dan waspada. Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam jiwa dan hati seseorang serta Mahabijaksana dalam menetapkan setiap hukuman. (1) Ialah tidak menyamakan antara hukuman pembunuhan yang tidak disengaja dengan pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. Hal itu disebabkan karena pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, palakunya berniat melakukan maksiat. Oleh karena itu kejahatannya telah terhitung berat dan besar sesuai dengan beratnya hukuman yang diterimanya. Adapun pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja, pelakunya tidak berniat melakukan maksiat. Kemaksiatan yang dilakukannya itu berkaitan dengan perbuatannya. Ketentuan ini merupakan variasi hukum pidana Islam sesuai jenis yang dilakukan. Ayat ini menjelaskan hukum kafarat pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja, yaitu memerdekakan budak Muslim, dan berpuasa jika tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakan. Kafarat ini mengandung nilai hukuman dan nilai ibadah. Secara lahiriah yang bertanggung jawab membayar kafarat adalah pelaku kejahatan, karena di dalam kafarat tersebut terdapat pelajaran dan pendekatan diri kepada Allah, sehingga Allah mengampuni dosa yang diperbuatnya. Selain kafarat, pada pembunuhan tidak sengaja terdapat sanksi diyat. Diyat ini telah ditentukan oleh Allah Swt. Tidak ada pembedaan antara satu korban dengan yang lainnya. Di sini terdapat nilai persamaan yang paling tinggi antara semua manusia. Diyat ini diwajibkan kepada kerabat si pembunuh, karena jika mereka bersepakat untuk mencegah pembunuhan itu, niscaya mereka akan dapat melakukannya. Tanggung jawab semacam ini dapat mengurangi tindak kejahatan. Namun, hal itu semua tidak menghalangi waliy al-amr (pemerintah atau penguasa) untuk memberi sanksi kepada pelaku kejahatan jika dalam sanksi itu terdapat kemaslahatan. Sebab, pembunuhan tidak disengaja pun termasuk tindak kejahatan, oleh karenanya disebutkan dalam ayat ini. Pada bagian akhir ayat ini, Allah menjelasakan bahwa sanksi kafarat dan diyat itu diundangkan sebagai syarat diterimanya pertobatan. Hal ini menunjukkan adanya sikap kurang hati-hati dari pelaku pembunuhan tidak disengaja. Oleh karena itu, para ahli hukum Islam menyatakan bahwa risiko dosa yang diterima pelaku pembunuhan tak disengaja itu bukan dosa karena membunuh, melainkan dosa karena sikap kurang waspada dan kurang teliti. Sebab perbuatan mubah (halal, boleh) itu boleh dilaksanakan dengan syarat tidak merugikan orang lain. Kalau perbuatan mubah itu merugikan orang lain, maka terbuktilah ketidakhati-hatian pelakunya dan, oleh karenanya, ia berdosa. Disebutkan pula bahwa pembunuhan tidak disengaja dapat dihindari dengan sikap hati-hati dan waspada. (Al-Kasânîy, juz 7 hlm. 252) Semua sanksi yang ditetapkan itu sesuai dengan besarnya bahaya yang diakibatkan pembunuhan, hingga Allah pun melarangnya. Jika dibanding dengan hukum positif, kita akan mendapatkan perbedaaan yang sangat besar. Dalam hukum positif, orang tidak lagi takut dengan sanksi yang ditetapkan, yang berakibat merebaknya kejahatan semacam ini. Dengan banyaknya akibat negatif hukum positif itu, belakangan muncul seruan menuntut ditetapkannya sanksi lebih keras kepada pelaku pembunuhan tak disengaja ini. Seandainya umat manusia mengikuti syariat al-Qur'ân, niscaya mereka akan memberikan sesuatu yang dapat meringankan beban jiwa dan kerugian materi kepada keluarga si korban, baik berupa kafarat atau diyat yang harus dibayar oleh kelurga pembunuh. Di samping itu, satu sama lain akan saling mencegah untuk melakukan kesalahan yang dapat menyebabkan pembunuhan. ] - Interpretation of ( An-Nisa' 92 )

[ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ] - النساء 92

#101

Interpretation of ( Al-Israa 1 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ [[17 ~ AL-ISRA' (PERJALANAN MALAM) Pendahuluan: Makkiyyah, 111 ayat ~ Surat ini memuat 111 ayat yang semuanya turun pada periode Mekah, kecuali dua belas ayat, yaitu ayat 26, 32, 33, 57, dan delapan ayat dari ayat 73 hingga ayat 80 yang turun pada periode Madinah. Surat ini diawali dengan tasbih menyucikan Allah, lalu dilanjutkan dengan menyinggung perjalanan Nabi Muhammad di malam hari (isrâ'), risalah Mûsâ dan berbagai peristiwa yang terjadi pada Banû Isrâ'îl. Kemudian disinggung pula mengenai kedudukan al-Qur'ân dalam memberikan petunjuk, pemaparan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam raya (âyât kawniyyah) di malam dan di siang hari, dan ganjaran manusia pada hari kiamat atas perbuatan-perbuatannya di dunia. Dijelaskan pula tentang hal-hal yang menyebabkan musnahnya beberapa bangsa, lalu dilanjutkan dengan memaparkan hal ihwal perbuatan manusia yang hasilnya akan diterima di akhirat. Kemudian dibicarakan tentang kewajiban menghormati orangtua, keadaan manusia berkaitan dengan harta mereka, sepuluh perintah yang di antaranya membangun masyarakat ideal, dan bantahan Allah terhadap kebohongan yang diada-adakan oleh orang-orang musyrik tentang malaikat serta penjelasan al-Qur'ân tentang pengulang-ulangan argumentasi al-Qur'ân. Selanjutnya Allah mengisyaratkan ihwal diri-Nya yang pantas untuk dipuji, keingkaran orang-orang musyrik, pemaparan wasiat-wasiat-Nya kepada orang-orang yang beriman, dan sikap Allah terhadap orang orang kafir di dunia dan akhirat. Dilanjutkan dengan penjelasan-Nya tentang asal penciptaan manusia dan setan dan ancaman-Nya terhadap orang orang musyrik. Kemudian dijelaskan pula tentang kemuliaan manusia, penjelasan Allah tentang siksaan-Nya di hari akhirat, pemaparan upaya orang-orang musyrik dalam memalingkan seruan nabi, dilanjutkan dengan ketetapan Allah dalam menetapkan seruan itu, lalu Allah berpesan kepada Nabi dengan beberapa wasiat dan doa. Dalam ayat selanjutnya, Allah mengisyaratkan tentang kedudukan al-Qur'ân, kemudian membicarakan tentang ruh dan rahasianya, tentang mukjizat al-Qur'ân yang membuat jin dan manusia tidak mampu mendatangkan ayat-ayat seperti al-Qur'ân dan bagaimana manusia menyikapinya, tentang kekuasaan Allah untuk mendatangkan ayat-ayat lainnya, tentang kedudukan al-Qur'ân yang mencakup kebenaran dan tentang keadaan orang-orang Mukmin yang jujur dalam keimanannya serta himbauan untuk selalu memuji Allah dan mengagungkan-Nya.]] Mahasuci Allah dari hal-hal yang tidak pantas untuk disandangkan kepada diri-Nya. Dialah yang memperjalankan hamba-Nya, Muhammad, pada sebagian waktu malam dari Masjid al-Haram, di Mekah, menuju Masjid al-Aqshâ, di Bayt al-Maqdis, yang telah Kami berkahi sekelilingnya berupa makanan untuk masyarakat sekitarnya. Semua itu agar Kami memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Kami yang dapat menjadi bukti yang menunjuki keesaan dan kebesaran kekuasaan Kami. Sesungguhnya hanya Allahlah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ] - Interpretation of ( Al-Israa 1 )

[ سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ] - الإسراء 1

#102

Interpretation of ( Al-Baqarah 275 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Orang-orang yang melakukan praktek riba, usaha, tindakan dan seluruh keadaan mereka akan mengalami kegoncangan, jiwanya tidak tenteram. Perumpamaannya seperti orang yang dirusak akalnya oleh setan sehingga terganggu akibat gila yang dideritanya. Mereka melakukan itu, sebab mereka mengira jual beli sama dengan riba: sama-sama mengandung unsur pertukaran dan usaha. Kedua-duanya halal. Allah membantah dugaan mereka itu dengan menjelaskan bahwa masalah halal dan haram bukan urusan mereka. Dan persamaan yang mereka kira tidaklah benar. Allah menghalalkan praktek jual beli dan mengharamkan praktek riba. Barangsiapa telah sampai kepadanya larangan praktek riba lalu meninggalkannya, maka baginya riba yang diambilnya sebelum turun larangan, dengan tidak mengembalikannya. Dan urusannya terserah kepada ampunan Allah. Dan orang yang mengulangi melakukan riba setelah diharamkan, mereka itu adalah penghuni neraka dan akan kekal di dalamnya(1). (1) Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba jahiliah. Prakteknya berupa pungutan tambahan dari utang yang diberikan sebagai imbalan menunda pelunasan. Sedikit atau banyak hukumnya tetap haram. Imam Ahmad mengatakan, "Tidak seorang Muslim pun berhak mengingkarinya." Kebalikannya adalah riba dalam jual beli. Dalam sebuah sabda Rasulullah saw. ditegaskan, "Gandum ditukar dengan gandum yang sejenis dengan kontan, begitu pula emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, yang sejenis dan dibayar kontan. Barangsiapa menambah atau minta ditambah sesungguhnya ia telah melakukan riba." Para ahli fikih sepakat bahwa hukum penambahan dalam tukar-menukar barang yang sejenis adalah haram. Mereka membolehkan penambahan kalau jenisnya berbeda, tetapi haram menunda pembayarannya. Mereka berselisih dalam masalah barang-barang yang disebut di atas. Pendapat yang paling bisa diterima, semua itu dikiaskan dengan bahan makanan yang dapat disimpan. Dalam hal riba ala jahiliah, ahli fikih menyepakati keharamannya. Yang mengingkari, berarti telah kafir. Riba tersebut membuat pihak yang terlibat mengalami depresi atau gangguan jiwa sebagai akibat terlalu terfokus pada uang yang dipinjamkan atau diambil. Pihak yang mengutangi gelisah karena jiwanya terbebas dari kerja. Sementara yang berutang dihantui perasaan was-was dan khawatir tak bisa melunasinya. Para pakar kedokteran menyimpulkan banyaknya terjadi tekanan darah tinggi dan serangan jantung adalah akibat banyaknya praktek riba yang dilakukan. Pengharaman riba dalam al-Qur'ân dan agama-agama samawi lainnya adalah sebuah aturan dalam perilaku ekonomi. Ini sesuai dengan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa uang tidak bisa menghasilkan uang. Para ahli ekonomi menetapkan beberapa cara menghasilkan uang. Di antara cara yang produktif adalah dengan bekerja di beberapa bidang usaha seperti industri, pertanian dan perdagangan. Dan yang tidak produktif adalah bunga atau praktek riba, karena tidak berisiko. Pinjaman berbunga selamanya tidak akan merugi, bahkan selalu menghasilkan. Bunga adalah hasil nilai pinjaman. Kalau sebab penghasilannya pinjaman, maka berarti usahanya melalui perantaraan orang lain yang tentunya tidak akan rugi. Banyaknya praktek riba juga menyebabkan dominasi modal di suatu bidang usaha. Dengan begitu, akan mudah terjadi kekosongan dan pengangguran yang menyebabkan kehancuran dan kemalasan. ] - Interpretation of ( Al-Baqarah 275 )

[ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ] - البقرة 275

#103

Interpretation of ( An-Nisa' 13 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Hukum-hukum yang telah disebutkan tentang warisan itu merupakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah kepada hamba-Nya agar dikerjakan dan tidak dilanggar. Barangsiapa taat kepada hukum- hukum Allah dan Rasul-Nya, maka ganjarannya adalah surga yang dialiri sungai-sungai. Mereka akan kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar(1). (1) Sistem pembagian warisan yang telah dijelaskan al-Qur'ân merupakan aturan yang paling adil dalam semua perundang-undangan di dunia. Hal itu diakui oleh seluruh pakar hukum di Eropa. Ini merupakan bukti bahwa al-Qur'ân adalah benar-benar datang dari Allah, sebab saat itu belum ada sistem hukum yang mengatur hal-hal seperti itu, termasuk dalam sistem hukum Romawi, Persia atau sistem hukum yang ada sebelumnya. Secara garis besar, keadilan sistem tersebut terangkum dalam hal-hal berikut. Pertama, hukum waris ditetapkan oleh syariat, bukan oleh pemilik harta, tanpa mengabaikan keinginannya. Pemilik harta berhak menetapkan wasiat yang baik sepertiga dari harta peninggalan sebagai pengganti dari ketentuan-ketentuan agama yang belum dilaksanakan seperti mengeluarkan zakat, atau pemberian kepada mereka yang membutuhkan selain yang berhak menerima bagian. Wasiat tidak boleh dilaksanakan bila bermotifkan maksiat atau mendorong berlanjutnya maksiat. Syariat menentukan sepertiga dari harta yang ditinggalkan, bila ada wasiat. Bila tidak, seluruh harta dibagikan kepada yang berhak menerima. Bisa juga di bawah sepertiga, dan selebihnya dibagikan sesuai dengan ketentuan syariat. Kedua, harta waris dua pertiga yang diatur oleh Allah, diberikan kepada kerabat yang terdekat, tanpa membedakan antara kecil dan besar. Anak-anak mendapatkan bagian lebih banyak dari yang lainnya karena mereka merupakan pelanjut orang yang meninggal yang pada umumnya masih lemah. Meskipun demikian, selain mereka, masih ada lagi yang berhak menerima warisan seperti ibu, nenek, bapak, kakek, walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit. Ketiga, dalam pembagian warisan juga diperhatikan sisi kebutuhan. Atas dasar pertimbangan itu, bagian anak menjadi lebih besar. Sebab, kebutuhan mereka itu lebih besar dan mereka masih akan menghadapi masa hidup lebih panjang. Pertimbangan kebutuhan itu pulalah yang menyebabkan bagian wanita separuh dari bagian laki-laki. Sebab, kebutuhan laki-laki terhadap harta lebih besar, seperti tuntutan memberi nafkah kepada anak dan istri. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia di mana wanita mempunyai tanggung jawab mengatur rumah dan mengasuh anak. Sedangkan laki-laki bekerja mencari nafkah di luar rumah dan menyediakan anggaran kebutuhan rumah tangga. Maka, dengan demikian, keadilan diukur sesuai dengan kebutuhan. Merupakan sikap yang tidak adil apabila keduanya diperlakukan secara sama, sementara tuntutan kebutuhan masing-masing berbeda. Keempat, dasar ketentuan syariat Islam dalam pembagian harta waris adalah distribusi, bukan monopoli. Maka, harta warisan tidak hanya dibagikan kepada anak sulung saja, atau laki-laki saja, atau anak-anak mayit saja. Kerabat yang lain seperti orang tua, saudara, paman, juga berhak. Bahkan hak waris juga bisa merata dalam satu kabilah, meskipun dalam prakteknya diutamakan dari yang terdekat. Jarang sekali terjadi warisan dimonopoli oleh satu orang saja. Kelima, wanita tidak dilarang menerima warisan seperti pada bangsa Arab dahulu. Wanita juga berhak menerima. Dengan begitu berarti Islam menghormati wanita dan memberikan hak-haknya secara penuh. Lebih dari itu Islam juga memberikan bagian warisan kepada kerabat pihak wanita seperti saudara laki-laki dan perempuan dari ibu. Ini juga berarti sebuah penghargaan terhadap kaum wanita yang belum pernah terjadi sebelum Islam. ] - Interpretation of ( An-Nisa' 13 )

[ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ] - النساء 13