Runtime (0.00441 seconds)
#24

Interpretation of ( Al-Muminoon 27 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Kemudian Kami wahyukan kepadanya, "Buatlah bahtera yang akan melindungimu dari kejahatan mereka. Kami akan mengayomi dan menunjukkan kepadamu cara pembuatannya. Ketika tiba saat penyiksaan mereka nanti, dan kamu menyaksikan tanur yang memancarkan air atas perintah Kami, segeralah naik kapal itu dengan mengikutsertakan semua jenis makhluk hidup secara berpasangan: jantan dan betina. Sertakan pula keluargamu kecuali orang yang telah Kami tetapkan untuk disiksa karena tidak mau beriman. Jangan meminta-Ku menyelamatkan orang-orang yang menganiaya diri sendiri dengan bersikap ingkar dan zalim, sebab Aku telah memutuskan untuk menenggelamkan mereka akibat kezaliman mereka yang bersikap musyrik dan durhaka(1). (1) Meskipun pemaparan tentang terjadinya topan pada ayat ini disampaikan secara singkat, namun mengandung makna dan fakta ilmiah yang tidak diketahui orang banyak. Secara etimologis, kata "tannûr" berarti 'tempat pembakaran roti', 'permukaan bumi yang dapat memancarkan air' atau 'tempat di mana terdapat banyak air'. Ketika kita berusaha memastikan kapan terjadinya peristiwa angin topan itu, kita akan menemukan kesilitan. Sebab, dalam sejarah umat manusia pernah terjadi banyak peristiwa angin topan pada masa yang tidak terlalu berjauhan, seperti yang pernah terjadi di Babilonia, India, Cina dan Amerika. Beberapa peristiwa topan itu terdapat pula dalam cerita-cerita rakyat. Hanya saja, tampaknya cerita-cerita itu tidak ada kaitannya dengan peristiwa topan besar yang terjadi pada masa Nabi Nûh. Melalui penelitian dan pengamatan, terbukti bahwa alam ini mengalami beberapa kali peristiwa topan besar. Topan terakhir terjadi akibat berakhirnya zaman es terakhir dan mencairnya sebagian besar es yang membeku di kutub utara dan selatan. Kita tidak tahu secara pasti kapan keseimbangan itu mulai hilang lalu mengakibatkan terpancarnya air dari dalam tannûr di permukaan bumi, akibat lonjakan mencairnya es yang luar biasa hingga menyebabkan naiknya permukaan air laut dan menimbulkan banjir mahabesar. Dapat disebutkan juga di sini bahwa peristiwa terjadinya pencairan es pada zaman es terakhir dibarengi dengan iklim dengan curah hujan sangat tinggi di daerah-daerah yang tidak berdekatan dengan kutub utara dan selatan seperti kawasan laut tengah. Apa pun yang terjadi, kita memang tidak mempunyai data yang cukup lengkap untuk memastikan kapankah zaman Nabi Nûh itu. Namun demikian, semua gejala itu menunjukkan keajaiban alam dan kemahakuasaan Allah Swt. Di antara keajaiban itu adalah pemberitahuan Nûh kepada kaumnya dengan nada nasihat bahwa Allah akan menurunkan murka-Nya dengan menenggelamkan mereka apabila tidak mau mendengar nasihatnya. Selain itu, merupakan keajaiban juga, Allah mewahyukan Nûh untuk membuat kapal. Kemudian datanglah ketentuan Allah yang berakibat hilangnya keseimbangan alam dengan tannûr yang memancarkan air sebagai pertandanya, lalu disusul dengan turunnya hujan deras. Itu semua merupakan bukti apa yang difirmankan Allah kepada Nûh a. s. bahwa Allah Mahatahu bahwa di antara kaumnya tidak akan ada yang beriman selain orang yang sudah benar-benar beriman sebelumnya. ] - Interpretation of ( Al-Muminoon 27 )

[ فَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ أَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا فَإِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ فَاسْلُكْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ مِنْهُمْ وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ ] - المؤمنون 27

#25

Interpretation of ( An-Nisa' 3 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Jika kalian merasa takut berbuat lalim kepada anak-anak yatim, karena merupakan dosa besar, maka takutlah juga akan penderitaan yang dialami oleh istri-istri kalian jika kalian tidak berlaku adil kepada mereka dan jika kalian kawin dengan lebih dari empat istri. Kawinilah, di antara mereka itu, dua, tiga atau empat, jika kalian yakin akan mampu berlaku adil. Jika kalian merasa takut tidak bisa berlaku adil, maka cukup seorang saja. Atau, kawinilah budak-budak perempuan kalian. Hal itu lebih dekat untuk menghindari terjadinya kezaliman dan aniaya,(1) juga lebih dekat untuk tidak memperbanyak anak, yang membuat kalian tidak mampu memberikan nafkah. (1) Prinsip poligami telah disyariatkan sebelumnya oleh agama-agama samawi selain Islam. Syariat Tawrât menetapkan seorang laki- laki boleh menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya. Disebutkan bahwa para nabi menikah dengan puluhan wanita. Tawrât adalah kitab perjanjian lama yang menjadi rujukan orang Nasrani manakala mereka tidak menemukan ketentuan hukum dalam Injîl atau risalah-risalah rasul yang bertentangan dengannya. Akan tetapi belum pernah didapatkan ketentuan yang dengan jelas bertentangan dengan Injîl. Pada abad pertengahan, gereja membolehkan praktek poligami. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Eropa, para raja banyak melakukan praktek poligami. Dalam hal ini, Islam berbeda dengan syariat agama samawi lainnya. Dalam agama Islam, poligami ada batasannya. Islamlah agama samawi pertama yang membatasi poligami. Ada tiga syarat mengapa Islam membolehkan poligami. Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka (harus berbuat adil). Ketiga, suami harus mampu memberikan nafkah kepada semua istrinya. Para ahli fikih menetapkan ijmâ' (konsensus) bahwa barangsiapa merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap wanita yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya. Namun, larangan itu hanya terbatas pada tataran etika keagamaan yang tidak masuk dalam larangan di bawah hukum peradilan. Alasannya, pertama, bersikap adil terhadap semua istri merupakan persoalan individu yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Kedua, kemampuan memberi nafkah merupakan perkara nisbi yang tidak bisa dibatasi oleh satu ukuran tertentu. Ukurannya sesuai dengan pribadi masing-masing. Ketiga, sikap zalim atau tidak mampu memberi nafkah berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi kemudian. Kesahihan sebuah akad tidak bisa didasarkan pada prediksi, tetapi harus didasarkan pada hal-hal yang nyata. Kadang-kadang seorang yang zalim bisa menjadi adil, dan seorang yang kekurangan harta pada suatu saat akan mampu memberi nafkah. Sebab, harta kekayaan tidak bersifat langgeng. Meskipun demikian, Islam menentukan bila seorang suami berlaku zalim terhadap istrinya atau tidak mampu memberikan nafkah kepadanya, maka istri berhak menuntut cerai. Namun demikian, juga tidak ada larangan bagi suami untuk tetap meneruskan ikatan pernikahannya bila hal itu merupakan pilihan dan kehendaknya. Dengan membolehkan poligami yang dipersempit dengan syarat-syarat di atas, Islam telah menanggulangi berbagai masalah sosial, di antaranya: Pertama, ada kemungkinan jumlah laki-laki berada di bawah jumlah wanita, terutama pada masa-masa setelah terjadi perang. Di beberapa negara Eropa, misalnya, setelah terjadi perang, perbandingan antara laki-laki dan wanita layak nikah mencapai 1:7. Maka merupakan kehormatan bagi seorang wanita untuk menjadi istri, meskipun harus dimadu, daripada harus berpindah-pindah dari satu lelaki ke lelaki lain. Kedua, kadang-kadang terdapat laki-laki dan perempuan yang tidak bisa untuk tidak melakukan hubungan seksual, baik secara sah atau tidak. Maka, demi kemaslahatan umum, akan lebih baik kalau hubungan itu dilegitimasi oleh agama. Bagi wanita, lebih baik menjadi istri daripada berpindah tangan dari yang satu kepada yang lainnya. Meskipun dibolehkannya poligami ini memiliki dampak negatif, tetapi dampak itu jauh lebih kecil daripada jika poligami dilarang, sebab terbukti dapat mencegah terjadinya masalah sosial yang lebih besar dari sekadar berpoligami. Ketiga, tidak mungkin seorang wanita kawin dengan laki-laki beristri kecuali dalam keadaan terpaksa. Kalaupun istri pertama akan menderita lantaran suaminya kawin lagi dengan wanita lain, maka wanita lain itu juga akan mengalami penderitaan lebih besar jika tidak dikawini. Sebab ia bisa menjadi kehilangan harkatnya sebagai wanita atau menjadi wanita tuna susila. Sesuai dengan kaidah yurisprudensi Islam, Ushûl al-Fiqh, risiko yang besar dapat dihindari dengan menempuh risiko yang lebih kecil. Keempat, kadangkala seorang istri menderita penyakit yang membuatnya tidak bisa melakukan hubungan seksual atau mengalami kemandulan. Maka perkawinan dengan wanita lain akan membawa dampak positif bagi yang bersangkutan, di samping dampak sosial. Karena itulah Islam membuka pintu poligami dengan sedikit pembatasan, tidak menutupnya rapat-rapat. Islam adalah syariat Allah yang mengetahui segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. ] - Interpretation of ( An-Nisa' 3 )

[ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا ] - النساء 3

#21

Interpretation of ( An-Naml 82 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Apabila janji Allah akan datangnya hari kiamat itu semakin dekat, dan orang-orang kafir itu hampir ditimpa azab, Allah akan mendatangkan binatang melata dari dalam bumi yang dapat bercakap-cakap. Di antara ucapannya adalah: "Sesungguhnya orang-orang kafir itu mengingkari seluruh mukjizat dan tidak mau beriman pada hari kiamat. Saat ini terbukti apa yang sebelumnya mereka ingkari. Inilah dahsyatnya hari kiamat dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi sesudah itu. "(1). (1) Demikianlah penafsiran ayat ini bedasarkan makna tekstualnya. Ada dua pendapat lain mengenai penafsiran makna ayat ini. Pertama, yang dimaksud dengan kata "dâbbah" dalam ayat ini adalah apa saja yang berjalan (melata) di atas bumi, termasuk binatang dan manusia. Dalam konteks penafsiran ini, pengertian yang mungkin lebih tepat adalah bahwa kata "dâbbah" berarti 'manusia', yang muncul menjelang hari kiamat. Dengan demikian, ayat ini berarti sebagai berikut: "Apabila kepastian bahwa orang-orang kafir akan mendapat siksa telah datang, mereka akan didatangi sekelompok orang beriman yang berjalan melalui lembah atau dataran hingga mengoncangkan orang-orang kafir dan memporak-porandakan bangunannya". Kedua, kata "dâbbah" di atas dapat diartikan sebagai 'orang-orang jahat' yang, karena kebodohannya, disamakan dengan hewan melata. Pendapat ini dicantumkan oleh Al-Ashfahânî dalam bukunya Al-Muqarrarât. Dengan begitu, ayat itu berarti demikian: "Ketika hari kiamat telah hampir tiba, bumi ini akan dipenuhi oleh kejahatan dan kerusakan. Lalu terjadilah peristiwa kiamat yang didustakan oleh orang-orang kafir itu". Peristiwa dan kenyataan itulah, bukan sekadar ungkapan, yang dimaksud dengan kata "qawl" dalam ayat ini. Dalam hal ini, kedua pendapat tadi tidak jauh berbeda. ] - Interpretation of ( An-Naml 82 )

[ وَإِذَا وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَابَّةً مِنَ الْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ النَّاسَ كَانُوا بِآيَاتِنَا لَا يُوقِنُونَ ] - النمل 82

#22

Interpretation of ( Al-Anbiyaa 31 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Di antara bukti-bukti kekuasan Kami adalah bahwa Kami menciptakan gunung-gunung yang kokoh di muka bumi, agar tidak goncang dengan ulah mereka. Dan Kami jadikan pula di bumi jalan-jalan yang lapang dan luas agar mereka dapat dengan mudah meniti jalan ke arah yang mereka tuju(1). (1) Hal itu dapat kita pahami kalau kita mengingat bahwa perut bumi merupakan cairan. Apabila kita umpamakan bahwa gunung- gunung itu terletak di beberapa bagian bola dunia bagai karang mahabesar nan tinggi, maka beratnya itu akan mengakibatkan terjadinya pergeseran, perenggangan atau bahkan peretakan pada kulit bumi. Oleh karena itu, Allah Swt. menjadikan gunung-gunung itu sebagai rawâsî, artinya 'yang mempunyai akar yang menancap panjang ke dalam lapisan kulit bumi'. Kedalaman akar itu sendiri disesuaikan dengan ketinggian gunung. Secara sederhana, akar-akar itu dapat diibaratkan seperti pasak penyangga. Selain itu, kerapatan jarak gunug-gunung dan akar-akarnya itu tidak lebih dari kerapatan kulit bumi yang mengelilinginya. Itu semua diciptakan demikian, agar tekanan pada kulit dalam bumi terbagi secara merata ke semua arah. Dengan demikian, tidak akan terjadi pergeseran atau perenggangan pada kulit bumi, karena tekanan yang tersebar secara merata itu hampir tidak menimbulkan pengaruh yang berarti. Di samping itu, distribusi daratan dan lautan pada satu sisi dan adanya gunung-gunung di muka bumi pada sisi lain, seperti dibuktikan ilmu pengetahuan modern, merupakan faktor penyebab keseimbangan pada bumi seperti sekarang ini. Terbukti pula bahwa gunung-gunung yang berat selalu mempunyai bagian bawah yang lunak dan lembut, dan di bawah air samudera selalu terdapat benda-benda yang berat. Dengan demikian, terjadi penyebaran berat di seluruh bagian bumi secara merata dan seimbang. Distribusi sedemikian itu, di mana posisi gunung merupakan dasarnya, memang bertujuan untuk menjaga keseimbangan bola bumi. Maka, di mana terdapat gunung-gunung yang tinggi selalu terdapat pula lembah, dataran rendah atau lorong di antara gunung-gunung itu dan tepi laut atau samudera. Dan itu merupakan jalan yang dapat dilalui. ] - Interpretation of ( Al-Anbiyaa 31 )

[ وَجَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ ] - الأنبياء 31

#23

Interpretation of ( An-Naml 18 ) in Indonesian by Muhammad Quraish Shihab et al. - id

[ Hingga, katika Sulaymân dan balatentaranya tiba di lembah semut, salah seekor semut itu berkata, "Wahai semut-semut sekalian, masuklah ke tempat persembunyian kalian, agar tidak binasa oleh Sulaymân dan balatentaranya karena mereka tidak merasakan keberadaan kalian!"(1). (1) Dari ayat ini dapat dipahami bahwa semut adalah jenis hewan yang hidup bermasyarakat dan berkelompok. Di antara hal-hal unik yang merupakan keistimewaan hewan jenis ini, antara lain, adalah ketajaman indera dan sikapnya yang sangat berhati-hati. Pada masyarakat semut dikenal etos kerja dan disiplin hidup berkelompok yang tinggi. Semut juga mempunyai tingkat kecerdasan dan kekuatan ingatan yang cukup tinggi, gemar bekerja keras dengan tingkat kesabaran yang tinggi pula, di samping merupakan hewan yang sangat cerdik dalam bekerja. Hal ini terbukti bahwa masyarakat semut merupakan satu-satunya jenis binatang yang berpikir untuk menguburkan anggotanya yang mati, persis seperti manusia. Kelompok-kelompok semut sangat mementingkan untuk dapat saling bertemu di satu tempat dan dari waktu ke waktu. Untuk keperluan itu, mereka menentukan hari-hari tertentu yang sengaja dikhususkan untuk mengadakan pasar bersama, sebagai kesempatan untuk saling mengenal dan tukar menukar bahan makanan. Kelompok-kelompok semut itu, pada saat bertemu, saling bertukar omongan dengan penuh perhatian dan saling bertanya tentang keadaan masing-masing. Di antara fenomena sosial lainnya dari kehidupan masyarakat semut, adalah bahwa mereka seringkali mengadakan semacam "proyek gabungan" untuk membangun, seperti membangun jalan yang panjang, misalnya, dengan penuh keuletan yang mengundang rasa kagum. "Proyek" semacam itu tidak hanya mereka lakukan pada siang hari, tetapi juga dilanjutkan pada malam-malam bulan purnama. Sedangkan pada malam-malam lainnya yang tak bercahaya rembulan, masyarakat semut tetap berada di sarangnya. Dalam hal mengumpulkan, mengangkut dan menyimpan bahan makanan, semut memiliki cara yang amat unik. Jika seekor semut tidak kuat untuk mengangkat bawaannya dengan mulut seperti kebiasannya karena terlalu berat, dia akan menggerakkan barang bawaan itu dengan kaki belakang dan mengangkatnya dengan lengan. Di antara kebiasaan lainnya yang unik bagi semut, apabila hendak menyimpan makanan berupa biji-bijian, dia akan memecahkan atau melobangi biji agar tidak dapat melembaga. Semut-semut akan memecahkan terlebih dahulu biji yang berukuran besar, agar gampang diangangkut dan dimasukkan dalam gudang penyimpanan. Dan jika stok makanan mereka basah oleh hujan, semut-semut itu membawanya keluar agar mengering. ] - Interpretation of ( An-Naml 18 )

[ حَتَّى إِذَا أَتَوْا عَلَى وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ ] - النمل 18